Kamis, September 30, 2010

Monumen Nasional (Monas)

Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.

Sejarah
Monumen Nasional yang terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, dibangun pada dekade 1920an. Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961, dan diresmikan 12 Juli 1975 oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto.Pembangunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang. Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia. Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga.

Konstruksi dan Pameran
Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 meter. Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 Kilogram. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas. Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945). Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kudanya, terbuat dari perunggu seberat 8 ton. Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario Bross di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning". Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang. Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul 09.00 - 16.00 Waktu Indonesia Barat. /RS


Kamis, April 01, 2010

”Taman Yosemite” di Padalarang, Mungkinkah?

Bagi anda yang pernah berkunjung ke ”Yosemite National Park” di Kalifornia Tengah Amerika Serikat, tahukah Anda bahwa potensi keindahan ”Taman Yosemite” pun sebenarnya ada di sekitar Bandung? Tepatnya di perbukitan Citatah Padalarang!

Bagi yang tahu tentang keindahan ”Taman Yosemite”, mungkin akan mencibir, bagaimana mungkin Padalarang yang gersang dan terpolusi asap pabrik dan debu kapur dikatakan menyimpan potensi keindahan seperti ”Taman Yosemite”?

Sebaliknya, sebagian orang yang pernah menyaksikan alam Padalarang sebelum tahun 1980-an, mungkin sedikit mengiyakan pernyataan itu. Sebelum tahun 1980-an, banyak para pengguna jalan yang rela meminggirkan kendaraannya di celah-celah bukit batu gamping Padalarang sekadar menikmati keelokan panorama perbukitan kapur yang masih menghijau dan menghirup udara segar.Meskipun pesona kehijauan panorama dan kesegaran udara itu bisa dikatakan sudah tidak ada lagi saat ini, bukan berarti semua pesona perbukitan batu gamping Padalarang hilang sama sekali.

Perbukitan Padalarang tersusun oleh batuan utama berupa batu gamping yang terbenuk selama kurun lebih dari 30-20 juta tahun lalu. Di dalam batu gamping-batu gamping itu tersimpan jutaan fosil binatang laut yang sekaligus menjadi saksi bisu atas keberadaan laut yang menggenangi daerah itu puluhan juta tahun lalu pada Kala Oligosen hingga Miosen Awal.

Fosil-fosil itu dapat dilihat dengan jelas pada pecahan-pecahan batu gamping yang tersebar di daerah ini. Proses geologi kemudian mengangkat batu gamping itu dari dasar laut sampai ke ketinggiannya saat ini dan mengerosinya sehingga menghasilkan bentang alam yang unik dan menakjubkan. Unik, karena di sekitar Bandung hanya di Padalaranglah terdapat perbukitan batu gamping. Perbukitan itu dengan kokohnya berperan sebagai ‘gapura alam’ Kota Bandung. Bila menuju Kota Bandung dari arah barat, akan merasa lega begitu melewati lorong jalan berkelok-kelok yang diapit bukit-bukit batu gamping nan megah karena berarti Anda sudah berada di depan gerbang Kota Bandung.

Jika Anda mendaki salah satu bukit yang ada di lokasi ini atau paling tidak berdiri di atas teras jalan antara km 21 hinga 26, ”kegagahan” bukit-bukit batu gamping di antara lorong-lorong, lembah-lembah yang dalam akan dapat disaksikan. Jika udara cerah, Waduk Cirata yang membentang di sebelah utara pun dapat terlihat. Petak sawah berundak-undak, terbentang indah di depan mata, juga dapat disaksikan menghampar di lembah-lembah sungai di sela-sela perbukitan kapur. Kerbau, karib bapak-bapak tani pun masih dapat dijumpai di petak-petak sawah itu.

Kekhasan lorong jalan Padalarang bukan hanya bukit-bukit batu gampingnya semata. Deretan penjual ”peuyeum”, tape khas Bandung, yang memajang dagangannya dengan ikatan-ikatan rapi dalam etalase kaca sederhana, deretan penjual jambu biji merah, dan avokat yang memamerkan dagangannya dengan kios-kios kecil, menambah kekhasan daerah itu. Pada waktu-waktu tertentu juga bermunculan pedagang durian, nangka, sirsak, dan kelapa muda di sepanjang lorong jalan itu. Ciri khas Padalarang saat ini bertambah dengan menjamurnya toko-toko hasil kerajinan batu oniks di sepanjang lorong jalan menuju Bandung.

Beberapa saat sebelum masuk pintu tol pasteur Padalarang dari arah Cianjur, pada sisi sebelah kiri jalan terbentang Situ Ciburuy. Meskipun, terkesan kurang terawat (bahkan sisi situ yang berdampingan dengan jalan provinsi pun sekarang digunakan untuk perhentian kendaraan angkutan umum), situ ini cukup bersejarah. Situ inilah yang mengilhami terciptanya lagu ”Bubuy Bulan” yang melegenda itu.

Hanya itukah keelokan Padalarang? Ternyata tidak! Di pohon-pohon yang tersisa di perbukitan Padalarang ini, ternyata masih banyak bergelantungan monyet-monyet liar dan berjenis-jenis burung liar. Ribuan kelelawar juga dapat kita saksikan bergelantungan di atap Gua Pawon yang berada di Bukit P, salah satu bukit yang dapat kita saksikan dengan jelas dari lorong jalan menuju Bandung ke arah utara dari Km 21 hingga Km 24.

Bagi Anda yang gemar memanjat tebing, tidaklah asing ungkapan ”tebing 125”, satu jalur panjat tebing yang paling menantang yang berada di perbukitan batu gamping Padalarang ini. Banyak sekali kelompok panjat tebing yang memanfaatkan ”tebing 125” ini dan daerah sekitarnya sebagai ”kawah candradimuka” untuk para anggotanya. Bahkan, seringkali kesatuan khusus dari TNI juga terlihat berlatih di sini.

Lokasi untuk panjat tebing bukan di situ saja. Di dinding Gua Pawon yang sudah runtuh atapnya sehingga membentuk lubang menyerupai kawah ini pun sering digunakan sebagai ajang latihan panjat tebing. Bukan saja untuk panjat tebing, Gua Pawon juga beberapa kali digunakan untuk latihan dasar penelusuran gua.

Penggemar olah raga air — baik sekadar bersampan atau bahkan arung jeram — juga dapat menjadikan Padalarang sebagai alternatif petualangannya. Berada di sekitar perbatasan Padalarang (tepatnya termasuk daerah Rajamandala), satu ruas Sungai Citarum dari sekitar Sanghyang Tikoro hingga Jembatan Kuning, menantang untuk digeluti oleh para pengarung jeram. Seperti juga ”tebing 125”, ruas Sungai Citarum itu juga sering digunakan oleh kelompok pecinta alam sebagai ajang latihan arung jeram. Tebing sungai yang tinggi dan tegak di kanan-kiri ruas itu juga memunculkan pesona tersendiri bagi yang melihatnya.

Di sekitar jembatan tol Citarum, air terjun kecil juga terlihat indah menyembur di salah satu tebing Sungai Citarum yang berdinding tegak. Tidak sedikit pengguna jalan sengaja menghentikan kendaraannya untuk menikmati pesona itu dari pinggir jembatan dan berpotret ria. Tidak heran jika pemerintah daerah membangun perhentian mobil di sisi jalan, di sebelah jembatan.

Namun sayang, fasilitas yang disediakan hanya sebatas perhentian mobil dengan beberapa warung makanan sederhana saja sehingga kurang memberikan kenyamanan kepada pengunjung atau pun penghasilan ke pemda. Padahal, alangkah bagusnya jika terdapat fasilitas untuk berbungee jumping dekat jembatan itu. Sudah pasti bukan di jembatannya karena akan mengganggu lalu lintas dan membahayakan pengunjung. Di samping jembatan itu cukup tinggi jaraknya dari muka air Citarum, Sungai Citarum di bawahnya juga cukup dalam sehingga cukup aman. Dengan demikian, orang-orang yang kadar adrenalinnya cukup tinggi dan menjadi penggemar olah raga ini tidak perlu terbang ke luar negeri untuk melepaskan hasratnya berbungee jumping ria.

Padalarang juga menyediakan tantangan bagi para mountain biker, dan hiker. Di samping medannya yang menantang kalau tidak boleh dikatakan berat, bentang alamnya pun mempesona. Tentara pun sering terlihat melakukan latihan longmarch di daerah ini. Bagi hiker dan mountain biker yang menyukai pemandangan yang hijau dan gemericiknya suara air maka mengikuti alur sungai anak-anak Sungai Citarum hingga ke hilirnya adalah pilihan jalur yang menggiurkan. Sepanjang jalur terlihat kehijauan kebun-kebun penduduk.

Kadang-kadang kita harus melewati undak-undak sawah yang cukup tinggi atau persawahan yang terbentang rata. Di sepanjang jalur itu, bentuk rumah-rumah panggung tradisional juga masih banyak ditemui di sela rimbunnya pepohonan.

Sesampai di Sungai Citarum yang telah tergenang tenang sebagai bagian dari Waduk Cirata, kalau beruntung kita bisa bertemu dengan tukang sampan tradisional yang mau mengayuh sampannya untuk menyeberangi Sungai Citarum yang lebar dengan imbalan sekadarnya, sebagaimana yang biasanya ada di bawah jembatan Citarum.

Untuk hiker dan mountain biker yang menyukai medan yang lebih berat, bisa memilih jalur naik turun bukit gamping. Saat ini, jalan-jalan setapak selalu tersedia hingga ke puncak-puncak bukit itu. Salah satu bukit yang menantang untuk ditaklukkan adalah Bukit Pawondan Bukit Gunung Masigit. Kedua bukit itu terlihat dari lorong jalan Jakarta-Bandung. Dari arah itu kedua bukit mungkin tidak memunculkan pesona yang cukup atraktif, selain sekadar penampakan lapisan-lapisan batuan yang ada di Gunung Masigit. Namun, jika kita lihat dari arah sebaliknya, pesona Bukit Gunung Masigit dan Bukit Pawonyang menghadap ke lembah Sungai Cibukur akan membuat kita berdecak kagum. Tidak akan kalah jika dibandingkan dengan bentang alam yang menjadi lokasi pembuatan iklan salah satu produk rokok yang sering muncul di televisi.

Sebenarnya banyak lagi yang bisa disampaikan tentang potensi perbukitan Padalarang yang luar biasa. Jika sekali waktu ada kesempatan berkelana di antara relung-relung perbukitan Padalarang, tentu Anda akan dapat menikmati berbagai keelokannya itu. Akan tetapi, mungkin juga sepuluh tahun ke depan keelokan itu akan lenyap ditelan gemuruh mesin pembelah bukit gamping ynag kian hari kian terasa makin keras suaranya. Sementara itu, debu-debunya juga semakin menyesakan napas.

Dari paparan di atas jelaslah, wilayah perbukitan Padalarang memiliki potensi yang besar untuk dijadikan tujuan wisata terpadu dari berbagai jenis wisata baik wisata petualangan alam dan olah raga, wisata pendidikan, objek fotografi, wisata sejarah dan budaya maupun agrowisata. Dengan potensi pesona alam yang melimpah itu, tentunya bukan suatu kemustahilan jika kita, masyarakat dan pemerintah daerah, dengan ketekunan dan usaha bersama akan mampu menghadirkan pesona ”Taman Yosemite” di kawasan perbukitan Padalarang. Usaha bersama perlu dilakukan karena permasalahan yang menghadang untuk mewujudkan impian di atas tidaklah sedikit.

Permasalahan yang paling jelas terlihat adalah keterlanjuran pengavelingan daerah itu dalam petak-petak konsesi tambang batu gamping. Lepas dari kelaikan AMDAL-nya, sumbangan industri-industri tambang ini — yang notabene termasuk tambang galian C — ke PAD ternyata tidak cukup signifikan jika dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.

(Eko Yulisanto dan Budi Brahmantyo, Penulis adalah peneliti di Puslit Geoteknologi LIPI dan Departemen Teknik Geologi ITB dan keduanya aktif di Kelompok Riset Cekungan Bandung).***

Sumber Pustaka: http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=280
Sumber Gambar: http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=280